indonesiatravelling.blogspot.com

Taman Firdaus yang Merana


oleh Budi Suwarna

Cerita tentang kebun binatang tidak melulu cerita tentang sukses. Ketika kita bercerita tentang Gembira Loka di Yogyakarta, misalnya, kita terpaksa harus bercerita tentang kemiskinan sebuah kebun binatang.

Sebagian orang Yogyakarta mengenang, Gembira Loka tahun 1980-an seperti ”Taman Firdaus” mungil. Sisi timur kebun binatang itu masih ditumbuhi pepohonan yang cukup lebat sehingga udara terasa segar. Permukaan tanah kebun masih ditumbuhi rumput di sana-sini dan Sungai Gajah Wong yang melintasi Gembira Loka juga masih jernih.

Bayangan itu masih tertanam di benak Sari (35), warga Condong Catur, Sleman, DIY. Dulu, kata Sari, dia sering diajak berkunjung ke Gembira Loka dan makan bersama di atas tikar yang digelar di rumput. Perempuan yang telah merantau ke Jakarta sejak 1997 itu, akhir tahun lalu, mencoba bernostalgia ke tempat itu bersama keluarga.

Seperti dulu, dia membawa tikar untuk makan secara lesehan. Namun, sesampai di sana Sari mengaku kecewa. ”Rumputnya sudah tidak ada Mas, mau gelar tikar di mana? Gembira Loka sekarang gersang,” katanya.

Gembira Loka, kini, memang bukan lagi ”Taman Firdaus”. Pepohonan banyak berkurang. Sungai Gajah Wong mulai dipenuhi sampah dan airnya tercemar limbah pabrik. Ketika musim kering tiba, pohon-pohon dan semak meranggas. Debu bertebaran dari tanah yang tidak dilapisi rumput atau beton.

Perubahan ini terjadi mulai sekitar akhir tahun 1990-an. Wajah Gembira Loka kian bopeng ketika gempa bumi terjadi tahun 2006. Hingga kini, bopeng-bopeng itu belum semua diperbaiki. Beton jalan setapak, misalnya, banyak yang masih gompal. Bangunan bernama Wayang Tirto yang dikelilingi telaga dibiarkan rusak dan miring akibat gempa. Tembok kandang burung kasuari yang roboh akibat gempa hanya ditambal dengan seng bekas.

Beberapa kandang hewan lainnya pun tampak kurang terurus. Kawat pagar di kandang buaya muara, misalnya, dibiarkan bolong menganga dengan diameter sekitar 50 cm. Bayangkan jika ada anak kecil nyelonong melalui lubang itu, dia akan jatuh ke dalam parit buatan dan bisa jadi santapan buaya.

Pelaksana Direktur Gembira Loka KMT A Tirtodiningrat mengakui, pihaknya belum mampu memperbaiki seluruh fasilitas yang rusak akibat gempa. ”Kami baru memperbaiki 15 persen fasilitas yang rusak. Itu pun secara tambal sulam. Kalau mau diperbaiki semua, kami butuh dana sekitar Rp 6 miliar. Dari mana duit sebanyak itu?” ujarnya.

Penurunan kualitas ini membuat Gembira Loka kehilangan pesonanya di mata pengunjung. Ketika sedang jaya-jayanya tahun 1980-an, Gembira Loka dikunjungi sekitar 1,8 juta orang per tahun. Setelah gempa, jumlah pengunjung hanya mencapai 300.000-an orang. Tahun lalu, jumlah pengunjung mulai bertambah lagi hingga menembus angka 500.000 orang.

Wajar jika pengunjung turun drastis dibanding tahun 1980-an. Sebagai sebuah tempat rekreasi, Gembira Loka tidak lagi memikat. Tidak banyak yang bisa dilakukan pengunjung kecuali berjalan berputar-putar sambil melihat koleksi binatang. Mungkin kebun binatang ini masih memiliki daya tarik bagi orang yang sedang pacaran, yang umumnya asyik dengan kegiatan masing- masing dan di-cuek-in binatang.

Pas-pasan

Penurunan pengunjung adalah berita buruk bagi sebuah kebun binatang seperti Gembira Loka yang benar-benar menyandarkan hidupnya dari tiket masuk. Menurut Tirtodiningrat, dalam setahun, Gembira Loka memperoleh pemasukan dari tiket sebesar Rp 4,8 miliar. Harga tiket Rp 8.000 per orang.

”Kami tak mendapatkan dana rutin dari pemerintah, paling hanya potongan pajak dari 15 persen menjadi 9 persen,” katanya.

Tirtodiningrat mengatakan, pemasukan dari tiket hanya cukup untuk biaya makan binatang, bayar gaji pegawai, dan perbaikan tambal sulam. ”Pokoknya pas-pasan,” ujarnya.

Karena pas-pasan, pihaknya harus melakukan efisiensi. Meski demikian, anggaran untuk makan dan kesehatan binatang koleksi tidak pernah diutak-atik. ”Kalau diibaratkan manusia, binatang di sini cukup makan. Tapi, kesejahteraannya kurang,” tambahnya.

Konsultan Biologi Gembira Loka Hari Palguna mengatakan, pihaknya tidak mungkin menaikkan harga tiket masuk untuk mendongkrak pemasukan. ”Dengan harga tiket yang sekarang saja, tidak semua orang bisa beli,” ujarnya.

Gembira Loka sebenarnya telah melancarkan beberapa jurus untuk mendongkrak pendapatan. Pihak pengelola, misalnya, menggelar panggung dangdut setiap libur Lebaran selama lima hari berturut-turut dan atraksi-atraksi lainnya.

Jurus itu cukup ampuh, pengunjung yang datang bisa melonjak hingga 15.000 orang per hari dari biasanya 2.000 orang, padahal tiket masuk dinaikkan jadi Rp 10.000. Pada saat-saat seperti itu, Gembira Loka benar- benar berubah dari kebun binatang menjadi ”kebun manusia”.

”Tetapi itu kan hanya setahun sekali. Terus terang, kami hanya bisa menangguk pemasukan lebih banyak pada akhir pekan dan hari libur yang lamanya sekitar 90 hari per tahun,” ujar Tirtodiningrat.

Meski sebuah kebun binatang tidak melulu berorientasi bisnis, lanjut Tirtodiningrat, kebun binatang tetap harus bisa mencetak uang untuk membiayai hidupnya. Karena itu, ke depan, Gembira Loka akan dibenahi menjadi sebuah taman hiburan yang menarik.

Persoalannya, pengelola belum punya duit.

Dari Kompas, Minggu, 27 April 2008.
Gambar dari sini.

0 komentar:

Blogger Templates by Blog Forum