indonesiatravelling.blogspot.com

Taman Firdaus yang Merana


oleh Budi Suwarna

Cerita tentang kebun binatang tidak melulu cerita tentang sukses. Ketika kita bercerita tentang Gembira Loka di Yogyakarta, misalnya, kita terpaksa harus bercerita tentang kemiskinan sebuah kebun binatang.

Sebagian orang Yogyakarta mengenang, Gembira Loka tahun 1980-an seperti ”Taman Firdaus” mungil. Sisi timur kebun binatang itu masih ditumbuhi pepohonan yang cukup lebat sehingga udara terasa segar. Permukaan tanah kebun masih ditumbuhi rumput di sana-sini dan Sungai Gajah Wong yang melintasi Gembira Loka juga masih jernih.

Bayangan itu masih tertanam di benak Sari (35), warga Condong Catur, Sleman, DIY. Dulu, kata Sari, dia sering diajak berkunjung ke Gembira Loka dan makan bersama di atas tikar yang digelar di rumput. Perempuan yang telah merantau ke Jakarta sejak 1997 itu, akhir tahun lalu, mencoba bernostalgia ke tempat itu bersama keluarga.

Seperti dulu, dia membawa tikar untuk makan secara lesehan. Namun, sesampai di sana Sari mengaku kecewa. ”Rumputnya sudah tidak ada Mas, mau gelar tikar di mana? Gembira Loka sekarang gersang,” katanya.

Gembira Loka, kini, memang bukan lagi ”Taman Firdaus”. Pepohonan banyak berkurang. Sungai Gajah Wong mulai dipenuhi sampah dan airnya tercemar limbah pabrik. Ketika musim kering tiba, pohon-pohon dan semak meranggas. Debu bertebaran dari tanah yang tidak dilapisi rumput atau beton.

Perubahan ini terjadi mulai sekitar akhir tahun 1990-an. Wajah Gembira Loka kian bopeng ketika gempa bumi terjadi tahun 2006. Hingga kini, bopeng-bopeng itu belum semua diperbaiki. Beton jalan setapak, misalnya, banyak yang masih gompal. Bangunan bernama Wayang Tirto yang dikelilingi telaga dibiarkan rusak dan miring akibat gempa. Tembok kandang burung kasuari yang roboh akibat gempa hanya ditambal dengan seng bekas.

Beberapa kandang hewan lainnya pun tampak kurang terurus. Kawat pagar di kandang buaya muara, misalnya, dibiarkan bolong menganga dengan diameter sekitar 50 cm. Bayangkan jika ada anak kecil nyelonong melalui lubang itu, dia akan jatuh ke dalam parit buatan dan bisa jadi santapan buaya.

Pelaksana Direktur Gembira Loka KMT A Tirtodiningrat mengakui, pihaknya belum mampu memperbaiki seluruh fasilitas yang rusak akibat gempa. ”Kami baru memperbaiki 15 persen fasilitas yang rusak. Itu pun secara tambal sulam. Kalau mau diperbaiki semua, kami butuh dana sekitar Rp 6 miliar. Dari mana duit sebanyak itu?” ujarnya.

Penurunan kualitas ini membuat Gembira Loka kehilangan pesonanya di mata pengunjung. Ketika sedang jaya-jayanya tahun 1980-an, Gembira Loka dikunjungi sekitar 1,8 juta orang per tahun. Setelah gempa, jumlah pengunjung hanya mencapai 300.000-an orang. Tahun lalu, jumlah pengunjung mulai bertambah lagi hingga menembus angka 500.000 orang.

Wajar jika pengunjung turun drastis dibanding tahun 1980-an. Sebagai sebuah tempat rekreasi, Gembira Loka tidak lagi memikat. Tidak banyak yang bisa dilakukan pengunjung kecuali berjalan berputar-putar sambil melihat koleksi binatang. Mungkin kebun binatang ini masih memiliki daya tarik bagi orang yang sedang pacaran, yang umumnya asyik dengan kegiatan masing- masing dan di-cuek-in binatang.

Pas-pasan

Penurunan pengunjung adalah berita buruk bagi sebuah kebun binatang seperti Gembira Loka yang benar-benar menyandarkan hidupnya dari tiket masuk. Menurut Tirtodiningrat, dalam setahun, Gembira Loka memperoleh pemasukan dari tiket sebesar Rp 4,8 miliar. Harga tiket Rp 8.000 per orang.

”Kami tak mendapatkan dana rutin dari pemerintah, paling hanya potongan pajak dari 15 persen menjadi 9 persen,” katanya.

Tirtodiningrat mengatakan, pemasukan dari tiket hanya cukup untuk biaya makan binatang, bayar gaji pegawai, dan perbaikan tambal sulam. ”Pokoknya pas-pasan,” ujarnya.

Karena pas-pasan, pihaknya harus melakukan efisiensi. Meski demikian, anggaran untuk makan dan kesehatan binatang koleksi tidak pernah diutak-atik. ”Kalau diibaratkan manusia, binatang di sini cukup makan. Tapi, kesejahteraannya kurang,” tambahnya.

Konsultan Biologi Gembira Loka Hari Palguna mengatakan, pihaknya tidak mungkin menaikkan harga tiket masuk untuk mendongkrak pemasukan. ”Dengan harga tiket yang sekarang saja, tidak semua orang bisa beli,” ujarnya.

Gembira Loka sebenarnya telah melancarkan beberapa jurus untuk mendongkrak pendapatan. Pihak pengelola, misalnya, menggelar panggung dangdut setiap libur Lebaran selama lima hari berturut-turut dan atraksi-atraksi lainnya.

Jurus itu cukup ampuh, pengunjung yang datang bisa melonjak hingga 15.000 orang per hari dari biasanya 2.000 orang, padahal tiket masuk dinaikkan jadi Rp 10.000. Pada saat-saat seperti itu, Gembira Loka benar- benar berubah dari kebun binatang menjadi ”kebun manusia”.

”Tetapi itu kan hanya setahun sekali. Terus terang, kami hanya bisa menangguk pemasukan lebih banyak pada akhir pekan dan hari libur yang lamanya sekitar 90 hari per tahun,” ujar Tirtodiningrat.

Meski sebuah kebun binatang tidak melulu berorientasi bisnis, lanjut Tirtodiningrat, kebun binatang tetap harus bisa mencetak uang untuk membiayai hidupnya. Karena itu, ke depan, Gembira Loka akan dibenahi menjadi sebuah taman hiburan yang menarik.

Persoalannya, pengelola belum punya duit.

Dari Kompas, Minggu, 27 April 2008.
Gambar dari sini.

indonesiatravelling.blogspot.com

Sydney Kota Pelabuhan


BEBERAPA tempat di sekitar Darling Harbour,Sydney,menjadi tempat pertama yang kami kunjungi.Daerah tersebut tidak tampak seperti lazimnya pelabuhan,jauh dari kesan bongkar muat barang yang kotor dan bising.

Pelabuhan tersebut lebih tepat sebagai tempat untuk bersantai, rekreasi, bahkan beberapa pelajar SMA dan TK melakukan sesi pelajaran dengan gurunya di pinggir laut.Mereka antusias mendengarkan sang dosen/guru menjelaskan materi pelajaran yang diajarkan.

Begitulah para siswa di negara-negara maju belajar, dengan menikmati langsung suasana alam. Beberapa kafe dan restoran tersedia di sepanjang sisi sebelah kiri pelabuhan, sedangkan sebelah kanannya terbentang gedung-gedung pencakar langit yang berderet rapi.

Tampak Sydney Tower sebagai pusat pemancar televisi dan radio di Australia. Menikmati secangkir kopi dan makanan ringan sambil berdiskusi dengan teman bisnis ataupun kerabat menjadi pemandangan di sepanjang kafe yang ada di Darling Harbour. Persis di depan kafe terda pat beberapa kapal perang Australia (jenis korvet) yang bersandar, namun tidak terdapat prajurit angkatan laut yang bertugas.

Kapal-kapal tersebut adalah Museum Kapal Perang Australia yang sengaja dibuka untuk umum. Ada kapal perang dengan persenjataan lengkap dan kapal perang yang menggunakan tiang-tiang layar seperti Kapal Perang Dewa Ruci milik Angkatan Laut Republik Indonesia.

Kapal-kapal tersebut tampak dalam kondisi yang sangat baik dan lengkap,ditempatkan di pinggir pelabuhan seperti bersandar. Gelombang laut yang menghantamnya tidak membuat kapal- kapal tersebut bergeser karena didesain dengan jangkar serta penguat ke dasar laut. Setiap pengunjung yang ingin memasuki kapal-kapal perang terdaatau museum Angkatan Laut Australia tersebut harus membayar 11 dolar Australia.

Jalan menuju ke geladak kapal perang ditempuh melalui jembatan yang dibuat khusus menuju setiap kapal perang yang dimuseumkan dari pinggir pelabuhan,tepat di depan kafe-kafe di sepanjang Darling Harbour.Selain kapalkapal perang yang dimuseumkan, tampak juga beberapa kapal pesiar yang bersandar,siap digunakanuntukberlayaratau memancing ikan di laut.

Acara rekreasi pantai di sekitar Darling Harbour tidak hanya terdapat di pantai, tetapi jauh dari pelabuhan juga banyak terdapat tempat-tempat yang dapat digunakan untuk berekreasi seperti tokotoko suvenir, Imax Theater, Chinese Gardens (terdapat danau buatan dan pameran foto-foto di taman), Sydney Exibition Centre, dan entertainment centre.

Suasana di sepanjang Darling Harbour pada pagi hari banyak dikunjungi para pebisnis untuk melakukan aktivitas, anak sekolah untuk belajar di alam terbuka, dan turis yang santai di pinggir pelabuhan atau di kafe. Semakin sore bahkan malam hari, suasana di Darling Harbour bertambah rama dengan beragam penunjung yang menikmati angin laut dan pemandangan gedunggedung pencakar langit yang dihiasi gemerlap lampu berwarna- warni.

Keramaian terdengar dengan suara-suara musik kafe dan canda tawa para mudamudi yang menikmati pesta di malam hari sampai jauh larut malam.(*)

Uji Nyali di Ketinggian Sydney Harbour Bridge

SYDNEYbagian utara dan selatan dihubungkan oleh sebuah jembatan yang membentang di sepanjang Teluk Sydney. Jembatan tersebut dibangun oleh warga Sydney yang datang dari Eropa pada 1932.

Nama jembatan tersebut adalah Sydney Harbour Bridge. Perjalanan dari Darling Harbour menuju Sydney Harbour Bridge dapat ditempuh dalam 30 menit dengan berbagai macam cara.Namun, saya memilih menggunakan bus bertingkat tanpa atap,banyak turis yang menggunakan kendaraan unik tersebut.

Sesampainya di Sydney Harbour Bridge,saya mendatangi kantor tempat membeli tiket untuk memanjat jembatan atau Climb the Bridge. Biaya memanjat Bridge sebesar US$179 pada hari kerja sedangkan US$189 pada hari libur. Sungguh bisnis yang luar biasa karena sangat mahal sekali. Kenapa mahal?

Setiap peserta yang akan melakukan Climb the Bridgeharus terkumpul dalam suatu kelompok berjumlah 7 orang. Setiap peserta harus menanggalkan seluruh pakaiannya (disimpan dalam box) dan diganti dengan seragam khusus (seperti seragam pembalap) yang dilengkapi pengamandiseluruh badan dan topi khusus. Sebelum setiap kelompok bertualang Climb the Bridge, mereka diberikan pengalaman sedikit di dalam ruang khusus yang melambangkan sebuah jembatan.

Latihan yang dilakukan diarahkan oleh dua orang instruktur,yaitu bagaimana cara maju melangkah, memanjat,berjalan mundur dan lain sebagainya. Lama sesi setiap latihan dilakukan kurang lebih 40 menit sambil mempelajari perjalanan sebenarnya yang akan ditempuh yaitu selama 3 jam lebih memanjat jembatan. Sungguh perjalanan panjang yang melelahkan,menegangkan, dan menakjubkan.

Sebelum dimulai, sang instruktur memberikan abaaba pada seluruh anggota untuk menyiapkan diri. Perjalanan pertama ditempuh dengan berjalan mendatar menuju lift yang tersedia di dinding fondasi jembatan. Setelah keluar dari lift, mulailah terlihat kerangkakerangka baja jembatan besar-besar dan melintang di seluruh pandangan mata memandang.

Perjalanan sangat hati-hati sehingga memakan waktu lama, pengawasan ketat, orang selalu diingatkan,pengaman di badan selalu terpasang. Saat paling mendebarkan adalah ketika memanjat lengkungan jembatan yang akan didaki sampai ujung jembatan tertinggi, yaitu persis di tengah jembatan tersebut.

Sungguh perjuangan yang sangat luar biasa untuk mencapai puncak tertinggi Sydney Harbour Bridge. Dengan keberanian dan tekanan udara/angin dingin yang berembus kencang sekali, barulah saya ketahui mengapa bayarnya mahal dan tidak boleh menggunakan pakaian sembarang. Bagi yang tidak memiliki keberanian tersebut, dapat memilih jenis yang lebih ringandanmurah, memanjatbangunan fondasi utama di antara dua sisi jembatan. Biayanya cukup 9 dolar Australia.(*)

Kemegahan Sydney Opera House

PEMANDANGAN kota Sydney semakin lengkap dengan kehadiran gedung Sydney Opera House yang terkenal di dunia. Gedung Opera House dibangun dengan bentuk yang khas seperti bentuk duri-duri yang berundak-undak bagaikan rumah keong.

Gedung ini dibangun persis di ujung Teluk Sydney berhadaphadapan dengan Sydney Harbour Bridge. Sehingga apabila kita mengunjungi salah satu bangunan tersebut, akan terlihatlah kedua bangunan luar biasa itu, dari sisi yang berlawanan.

Di dalam Opera House terdapat banyak restoran yang menyajikan makanan dengan gaya modern, dengan harga yang cukup mahal. Hampir sepanjang hari dari pagi hingga malam, gedung Opera House selalu ramai dikunjungi berbagai macam turis asing maupun domestik.

Di setiap sisinya tampak terlihat pihak keamanan/security yang selalu berjaga-jaga, memperhatikan setiap pengunjung yang sedang menikmati pemandangan ataupun berfoto-foto. Di gedung utama yang terkenal tersebut, terdapat dinding dan atap yang terbuat dari marmer dan kaca khusus yang dikirim dari Eropa.

Di ruang utama terdapat tempat pertunjukan Australia Opera yang dijual dengan harga 259 dolar Australia bagi yang ingin menyaksikannya. Di sekeliling Opera House terdapat pemandangan menakjubkan, di sisi utara adalah Teluk Sydney yang ramai lalu lalang berbagai jenis boat, feri bahkan kapal pesiar. Di sisi Timur, Teluk Farm.

Sisi selatan pemandangan pencakar langit Kota Sydney, dan sisi Barat adalah kesibukan pusat feri dan Sydney Harbour Bridge. Menikmati pemandangan Teluk Sydney, kesibukan Feri, gedung Opera House dan Sydney Harbour Bridge dapat dilakukan di sepanjang sisi sebelah barat Opera House. Sambil duduk-duduk menikmati kopi atau teh dan makanan kecil .

Di sisi barat Opera House sepanjang pinggir pantai terdapat restoran. Tempat tersebut menjadi sarana ideal para pengunjung untuk menikmati hidangan sambil berekreasi. (*)


Oleh andi_fachrudin@yahoo.com

Dari Koran Sindo, Minggu, 27 April 2008.
Gambar dari sini.

indonesiatravelling.blogspot.com

Festival Tulip di Lembah Skagit


Kebanyakan kita di Indonesia mengenal tulip sebagai bunga dari Belanda. Begitu lekatnya tulip dengan Belanda, sampai-sampai orang tidak percaya bahwa sebetulnya tulip bukan asli Belanda, dan juga bahwa tulip tidak hanya ada di Belanda.

Tahun lalu saya berkunjung ke Masjid Rustem Pasha di dekat Spice Bazaar di Istanbul. Masjidnya kecil, tetapi ia merupakan salah satu permata arsitektur yang tidak dapat dilewatkan. Masjid ini dibangun oleh Mimar Sinan, seorang arsitek legendaris yang dipercaya merancang begitu banyak bangunan penting pada masa Sultan Sulaeman Agung.

Rustem Pasha "hanyalah" orang kaya yang bukan bangsawan. Karena itu, ketika ia berniat membangun masjid, ia tidak dibolehkan membangun minaret (menara untuk mengumandangkan azan). Rustem kemudian mencari akal untuk menunjukkan bahwa kekayaannya tidak kalah dibanding para sultan.

Rustem kemudian mempekerjakan para pekerja seni dari Iznik untuk membuat keramik khusus guna menutupi dinding dalam masjid. Salah satu desain keramik itu adalah gambar bunga tulip. Keramik itu sangat indah dan tidak ada tandingannya pada masa itu di seluruh Istanbul. Belum lama ini, satu keping keramik asli dari Masjid Rustem Pasha dilelang Sotheby's dan mendapat harga 80.000 poundsterling.

Lho, mengapa ada gambar tulip di dinding masjid di Istanbul? Mengapa pula gambar tulip dapat ditemukan pada keramik di dinding Masjid Biru alias Masjid Sultan Ahmad di Istanbul?

Tulip sebenarnya adalah tumbuhan bunga asli dari Turki. Ada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa tulip sudah dibudidayakan di Turki sejak tahun 1000 Masehi, khususnya di daerah sekitar Laut Hitam. Setelah Sultan Mehmet Sang Penakluk merebut Turki pada pertengahan abad ke-15, bunga tulip mulai ditanam di halaman istana. Di istana itulah orang-orang Eropa mulai melihat keindahan tulip dan menganggapnya sebagai bunga yang bernilai tinggi.

Belanda baru mengenal tulip pada tahun 1593, setelah seorang botanis dari Austria diangkat sebagai guru besar di Universitas Leiden. Botanis itu sebelumnya telah memiliki bibit tulip yang diperolehnya dari mantan dutabesar Austria di Turki yang diberi bibit tulip sebagai hadiah dari Sultan. Tulip pada masa itu merupakan tanaman eksklusif yang hanya dimiliki secara terbatas oleh para pangeran di Eropa.

Pada abad ke-7, tulip mania mulai melanda Belanda. Berbagai varian tulip baru mulai bermunculan. Pada waktu itu, bahkan ada sayembara berhadiah uang sangat besar bagi siapa pun yang mampu membudidayakan tulip berwarna hitam.

Berabad-abad kemudian, Belanda telah meninggalkan Turki jauh di belakang dalam soal tulip-menulip. Bunga tulip bahkan menjadi komoditas perdagangan penting di Belanda, sedangkan di Turki tetap menjadi bunga yang terbatas keberadaannya di kalangan ningrat.

Pada tahun 1949, untuk pertama kalinya diselenggarakan pameran tulip di Keukenhof, Negeri Belanda. Keukenhof semula adalah kebun tempat menanam bumbu-bumbu dapur untuk istana-istana kerajaan. Hingga kini, Keukenhof merupakan tempat yang paling terkenal di dunia untuk melihat bermacam-macam tulip.

Karena tulip hanya mekar pada awal musim semi, umurnya memang tidak panjang. Karena itu, Keukenhof hanya buka selama kurang lebih 6-8 minggu - dari akhir Maret hingga awal Mei. Setiap tahun tanggalnya bergeser, bergantung pada kondisi musim dingin sebelumnya. Untuk tahun ini, misalnya, Keukenhof dibuka sejak 20 Maret hingga 18 Mei. Harga tiketnya cukup mahal, sekitar Rp 180 ribu. Jutaan wisatawan berkunjung ke Keukenhof setiap tahun.

Tetapi, Keukenhof ternyata bukan satu-satunya tempat untuk melihat berbagai macam tulip. Di Lembah Skagit, sekitar 100 kilometer di Utara Seattle, AS, sudah 25 tahun terakhir ini setiap tahunnya diselenggarakan festival tulip.

Dari namanya sudah dapat kita duga bahwa Lembah Skagit asalnya adalah hunian kaum Indian. Tanah aluvialnya subur, dan sejak 150 tahun terakhir dimanfaatkan sebagai perkebunan. Bunga mulai menjadi komoditas pertanian di lembah ini sejak 100 tahun yang lalu.

Pada awal tahun 1950-an, orang-orang Belanda perantauan mulai bermukim di Lembah Skagit. Mereka membawa sapi perah dan bibit tulip, serta membudidayakannya di kawasan itu. Sampai sekarang jejak-jejak orang Belanda masih dapat kita lihat dari nama-nama perkebunan tulip dan peternakan sapi di Lembah Skagit, seperti: Rozengaarde, De Goede, dan sebagainya.

Makin populernya Keukenhof di Negeri Belanda membuat para petani tulip di Lembah Skagit pun mulai menyelenggarakan festival tulip yang pertama pada tahun 1984. Berbeda dengan Keukenhof, di Lembah Skagit pengunjung tidak ditarik bayaran. Orang-orang bebas "mengembara" di kawasan seluas 750 hektare untuk mengunjungi kebun-kebun tulip individual. Para pemilik kebun pun berlomba-lomba membuat atraksi sendiri-sendiri untuk membuat wisatawan singgah ke kebun mereka.

Setiap hari bus-bus pariwisata dan mobil-mobil berdatangan ke Skagit. Dalam sebulan penyelenggaraan, sekitar sejuta orang datang berkunjung ke Skagit, melihat hamparan kebun tulip dengan warna-warni mencolok. Selain tulip, juga banyak bunga daffodils ditanam di Skagit.

Cara lain untuk menikmati keindahan Skagit adalah naik pesawat terbang berkursi empat yang terbang rendah di atas kawasan kebun tulip. Bunga-bunga tulip aneka warna yang mekar bersamaan merupakan pemandangan yang luar biasa.

Menurut statistik, luas kebun tulip di Lembah Skagit kini bahkan sudah mengalahkan luas kebun tulip di Negeri Belanda. Nilai ekonomi dari perdagangan tulip dari Lembah Skagit ke pasar dunia pun kini semakin signifikan.

Para pengunjung festival tulip di Lembah Skagit biasanya juga berkunjung ke sebuah kota kecil La Conner, sekitar 5 kilometer dari pusat kebun tulip. Letaknya di pantai Pasifik membuat "desa" indah ini punya reputasi internasional. Pusat kotanya memiliki toko antik, galeri foto, galeri lukisan, butik, restoran, dan hotel berstandar internasional.

Selama bertahun-tahun dulu saya melanggani sebuah restoran yang sangat terkenal dengan hidangan grilled salmonnya. Sengaja dibuat alat pemanggang di depan restoran, dengan dua koki yang terus-menerus memanggang salmon. Aromanya yang mengembang ke mana-mana membuat orang semakin ingin datang untuk makan di sana.

Nama restoran itu adalah The Lighthouse. Tetapi, ketika minggu lalu saya datang ke sana, ternyata restoran itu sudah berganti nama menjadi Palmers. Tidak ada lagi panggangan salmon di depan restoran. Tidak ada lagi antrean panjang orang-orang yang ingin makan di sana. The Lighthouse ternyata telah menjadi sejarah. Anehnya, dalam buku panduan La Conner yang terbaru, nama Palmers bahkan tidak terdaftar.

Saya pun urung masuk ke Palmers. Di ujung jalan saya lihat antrean cukup panjang. Ternyata, orang antre di depan Calico Cupboard Cafe and Bakery. Calico memang sudah lama di sana dan hampir selalu memenangi penghargaan tertinggi untuk kualitas pastry dan kue-kue. Pastry juara di Calico adalah cinnamon roll. Pastry serupa punya Cinnabon yang sudah buka waralaba internasional pun lewat dah! Berbagai sandwich dari Calico juga membuatnya diantre orang.

Ribuan wisatawan yang setiap hari datang ke La Conner setelah berkunjung ke festival tulip, dengan mudah dilayani oleh puluhan restoran di sana. Setidaknya, ada enam restoran fine-dining di kota sekecil itu. Sebuah kota yang tampaknya seratus persen dihidupi oleh pariwisata. Pendapatan rata-rata penduduk La Conner adalah US$45.000 per tahun.

Kembali ke urusan tulip, sekarang, Istanbul pun setiap tahun menyelenggarakan Tulip Festival. Di seluruh kota, khususnya di pinggir-pinggir jalan, bunga-bunga tulip bermekaran dengan indahnya. Turki agaknya ingin mengejar ketertinggalannya dalam reputasi dunia di bidang tulip.

Bondan Winarno

Dari Suara Pembaruan, Minggu, 27 April 2008
Gambar dari sini.

indonesiatravelling.blogspot.com

Tersengat Masa Lalu di Pulau Penyengat


Betapa pulau kecil ini ajaib, hampir di tiap jengkal ada situs bersejarah peninggalan sejumlah sultan.

Jika hendak mengenal orang berbangsa, Lihat kepada budi dan bahasa

Itulah cuplikan dari "Gurindam Dua Belas" karya Raja Ali Haji yang termasyhur. Gurindam 83 bait yang sarat pesan moral itu ikut mengukuhkan masa lalu Pulau Penyengat Indra Sakti sebagai salah satu pusat kerajaan dan budaya kebanggaan orang Melayu. Betapa senangnya, akhirnya saya bisa bertandang ke pulau tempat Raja Ali Haji dimakamkan, awal Februari 2008, sehari menjelang perayaan Imlek.

Kota terdekat untuk mencapai Penyengat adalah Tanjungpinang, Bintan. Maskapai Merpati dan Batavia Air sebenarnya sudah melayani penerbangan langsung Jakarta-Bintan via Bandara Kijang, namun saya memilih terbang ke Hang Nadim, Batam. Barulah dari Batam saya naik feri ke Bintan. Perjalanan laut selama 1,5 jam menyuguhkan pemandangan pulau-pulau kecil nan eksotis: hijau bakau, nyiur melambai, laut yang jernih. Kapal nelayan dan feri saling berselisih jalan. Di sini, laut dan selat betul-betul menjelma jadi jalan raya bagi kapal-kapal.

Setelah lama menyaksikan ombak memecah pukul-memukul di buritan, feri yang saya tumpangi akhirnya merapat di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang. Pelabuhan ini tempat bertolak dan merapatnya kapal-kapal dari dan ke negeri jiran, Singapura dan Malaysia. Dari pelabuhan itu, pulau mungil sepanjang dua kilometer itu terlihat manis menggoda. Menara masjid kerajaan dan rumah-rumahnya yang kelabu terasa dekat saja, hanya dipisahkan selat sempit yang ramai.

Secara administratif, Penyengat masuk Kecamatan Tanjungpinang Kota dengan status kelurahan (bandingkan dengan statusnya di masa silam sebagai pusat kerajaan!)

Untuk ke Penyengat, kita berpindah dermaga dan mencari kapal kecil bermesin tempel alias klotok. Untuk pindah dermaga, kita harus berjalan memutar ke arah pusat kota Tanjungpinang. Naik becak tentu lebih cepat, tapi saya memilih jalan kaki melewati Jalan Pos yang merupakan bagian terpadat kota Tanjungpinang. Hotel, restoran, toko pakaian, kedai cendera mata, kantor agen perjalanan, tempat penukaran uang asing, dan toko emas berderet di kedua sisi jalan, membentuk sebuah lorong panjang yang artistik. Apalagi dengan hiasan ratusan lampion pelbagai bentuk dan ukuran, merah menyala.

Klotok yang akan berangkat ke Penyengat penuh sesak oleh penumpang yang akan menghadiri pesta perkawinan di pulau itu. Saya sempat khawatir melihat dinding kapal cuma sejengkal dari air. Apalagi langit berawan dan riak agak besar. Tampaknya itu hal lazim di sini. Tukang klotok sudah berpengalaman. Maka, tak sampai 25 menit, kami selamat sampai di seberang.

Klotok merapat di sebuah dermaga kecil, tak jauh dari Masjid Sultan Riau. Selanjutnya saya menyusuri jalan konblok selebar dua meter ke arah masjid, tapi sebelum sampai, deretan becak motor telah menunggu dengan rute yang telah ditentukan. Sebuah papan bernukilkan peta Penyengat di pangkalan itu mencantumkan tarif becak motor Rp 20 ribu sekali keliling pulau. Tanpa menawar, saya naik becak paling depan sesuai dengan urutan antrean, apalagi hujan rintik-rintik mulai turun. Engku Nurdin yang ramah segera memacu becak motornya.

Dalam rute wisata becak motor, masjid dekat dermaga justru menjadi obyek kunjungan terakhir. Kunjungan pertama adalah ke kompleks makam Raja Hamidah (Engku Putri), permaisuri Sultan Mahmud Syah III, sultan Riau-Lingga (1760-1812). Di sini juga dimakamkan beberapa bangsawan, termasuk Raja Ali Haji sendiri, sang pujangga Kerajaan. Bangsawan di sini bergelar Raja, termasuk bangsawan perempuan.

Meski dikenal sebagai kompleks makam Engku Putri, yang menonjol justru atribut formal untuk penghormatan Raja Ali Haji. Semasa hidupnya, Raja Ali Haji (1808-1873) tidak hanya menghasilkan "Gurindam Dua Belas", tapi juga buku Bustan al-Katibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858).

Dua baliho terlihat merujuk kepada kebesaran sang pujangga: "Raja Ali Haji Pahlawan Nasional Bidang Bahasa Indonesia" dan sebuah lagi: "Raja Ali Haji Bapak Bahasa Melayu-Indonesia, Budayawan di Gerbang Abad XX". Ia ditabalkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keppres RI Nomor 089/TK/2004.

Terletak di kaki bukit kecil, dikelilingi pohon rindang ambacang, mengkudu, dan jambu, kompleks ini sangat asri, juga unik: ada bangunan utama berbentuk masjid mini, berkubah dan bermihrab. Bercat kuning dengan jendela bulat seperti jendela kapal. Barisan nisan berbentuk gada dibungkus kain yang juga berwarna kuning. Di dalam cungkup atau bangunan utama yang dindingnya berhiaskan cuplikan "Gurindam Dua Belas", terdapat makam Raja Hamidah dan permaisuri yang lain. Makam para raja perempuan terletak di dalam bangunan utama. Adapun makam raja laki-laki, seperti Raja Ahmad, Raja Abdullah Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga IX dan Raja Ali Haji, terdapat di luar bangunan utama. Di luar pagar terdapat lagi makam orang-orang yang punya hubungan dengan kerajaan.

Secara simbolis, Pulau Penyengat sebenarnya milik Raja Hamidah, karena merupakan maskawin yang diterimanya saat dipinang Sultan Mahmud Syah. Itulah sebabnya, Penyengat disebut juga Pulau Pinangan atau Pulau Maskawin.

Setelah puas berziarah di kompleks makam Engku Putri, saya beranjak ke kompleks makam Yang Dipertuan Muda Riau VI, Raja Ja'far. Masa pemerintahannya berlangsung ketika Belanda dan Inggris berebut daerah jajahan. Toh, Raja Ja'far sukses mengembangkan pertambangan timah di Singkep. Lokasi makamnya jauh lebih luas, berpagar beton di sekeliling. Bangunan utamanya tetap berupa masjid kecil, tempat makam Raja Ja'far dan kerabatnya berada.

Meski pulau ini hanya sepanjang dua kilometer, untuk mengunjungi semua situs, Anda butuh waktu cukup panjang. Maklum, hampir di tiap jengkal ada situs yang menggoda. Saya sendiri kelabakan. Di samping waktu yang singkat, cuaca juga kurang bersahabat. Untunglah, becak-motor Engku Nurdin setia mengantar. Tak lupa saya mampir di Istana Raja Ali (1844-1857) yang terlihat sangat modern dan kukuh. Lantai duanya masih bersisa dan dipertahankan di salah satu sayap gedung yang sekaligus berfungsi sebagai gapura.

Tak lama kemudian, becak pun berhenti di depan sebuah kompleks makam Yang Dipertuan Muda Riau VII, Raja Abdul Rahman (1832-1844), yang menuntaskan pembuatan Masjid Raya Sultan Riau. Untuk mencapai makam, kita harus mendaki jalan setapak dengan terlebih dulu melewati situs Gedung Mesiu. Bangunan ini berfungsi menyimpan serbuk mesiu pasukan perang kerajaan. Ini satu-satunya gedung mesiu yang tersisa, dari sebelumnya empat buah. Selebihnya roboh karena lama tak terawat, senasib dengan beberapa situs yang terlambat dipugar.

Jalan menuju makam melewati tangga semen yang landai. Di gerbang makam, saya disambut juru kunci, Suhadi, yang ternyata asli Prambanan, Yogyakarta. Hampir 20 tahun ia tinggal di Penyengat.

"Maaf cakap orang rumah awak keturunan langsung raja-raja Penyengat," ujarnya sambil mengantar saya berkeliling makam.

"O, di tengah laut biru pun, Bapak berhasil menyunting perempuan berdarah biru!" canda saya.

Ia tertawa dan menunjukkan bekas benteng di timur makam, tapi minat saya terlerai akibat hujan kian lebat. Kepada Engku Nurdin, saya minta diantar ke Masjid Raya yang menjadi rute terakhir saya.

Kebetulan, azan asar sudah berkumandang. Sebelum berwudu saya mengamati bangunan masjid yang sangat anggun dan cantik berkat kubah bulat dengan dua pasang menara runcing. Menurut catatan, masjid kuning ini dibangun pada 1832, dalam rintisan Yang Dipertuan Muda VI Raja Ja'far dan diselesaikan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdul Rachman. Konon, bahan utama bangunan, pasir dan tanah liat, sengaja dicampur putih telur supaya kuat dan mengkilap. Di sebelah kiri dan kanan masjid terdapat bangunan dari kayu yang disebut Rumah Sotoh, tempat istirahat dan bermufakat. Pemandangan ke pantai dari lokasi masjid (yang fondasinya ditinggikan) sungguh elok; Kota Tanjungpinang seperti terapung di seberang, di antara perahu dan kapal yang lalu-lalang.

Selesai berwudu, saya masuk ke dalam masjid dan mendapati sentuhan interior yang nyaman: ukiran tiang, kaligrafi, dan lampu antik. Di dekat kotak amal ada sebuah peringatan: "Dilarang berfoto di dalam masjid". Iseng-iseng saya langgar. Klik! Blitz kamera mengundang garin masjid mendatangi saya. "Saya tidak berfoto, Pak, tapi memfoto!" jawab saya. Ia pergi bersungut-sungut. Rasain! Ini daerah asal bahasa Indonesia, jadi mesti benar menggunakannya.

Selesai salat berjemaah, batuk saya yang pertama meletus, disusul batuk berikutnya. Pastilah cuaca buruk dan hujan yang melembapkan pakaian telah menyebabkan kerongkongan gatal dan hidung berair. Tapi selintas saya teringat "dosa" saya: berbuat iseng pada garin masjid. Wah, gawat! Alih-alih mencari Pak Garin yang masih khusyuk berzikir, saya memilih istirahat ke warung di samping masjid. Memesan gado-gado dan segelas jeruk hangat.

Sambil menunggu hujan reda, saya mengingat rute yang dilalui. Saat itulah terasa, betapa "ajaibnya" pulau kecil ini. Bayangkan, dengan lebar hanya satu kilometer dan panjang dua kilometer, terdapat puluhan situs bersejarah peninggalan sejumlah sultan. Masih banyak yang hanya bisa saya saksikan sambil lewat. Sebut saja Istana Kedaton tempat sultan terakhir tinggal; Gedung Hakim Mahkamah Syariah Raja Haji Abdullah dengan tiang-tiang kukuh menyerupai bangunan Yunani kuno; Istana Bahjah tempat tinggal Raja Ali Kelana, Gedung Tabib, bekas tempat praktek Engku Haji Daud, tabib kerajaan; dan Perigi Kunci, tempat mandi putri istana.

Ini belum termasuk situs yang tidak terlihat ketika lewat karena agak jauh dari jalan utama, semisal makam Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji Fisabilillah yang dipindahkan dari Melaka; Tapak Percetakan Kerajaan dan sisa sekretariat Rusdiyah Klub (1884), sebuah organisasi cendekiawan Melayu Riau antipenjajah, lama sebelum Budi Utomo (1908) terbentuk. Percetakan kerajaan sendiri bernama Mathba'atul Riauwiyah. Kedua wadah intelektual ini digerakkan, antara lain, oleh Raja Ali Kelana dan Raja Khalid Hitam. Belum lagi keberadaan Benteng Bukit Kursi dan Bukit Penggawa yang keterangannya kelak terpaksa hanya bisa saya baca di katalog. Tepatnya, setelah Akib memberi saya sejumlah buku dan katalog yang diterbitkan kantornya.

O, ya, masih ada makam Embung Fatimah di Bukit Bahjah, bangsawan Melayu yang menikah dengan bangsawan Bugis. Ini penting digarisbawahi untuk menyibak lebih lanjut sejarah dan silsilah bangsawan Penyengat; ternyata mereka memiliki darah campuran dengan bangsawan Bugis, termasuk Raja Ali Haji sendiri, dari Upu Daeng Celak. Sejarah mencatat, bangsawan Bugis dan Melayu sudah lama bersatu (termasuk tentu intrik dan seteru), termasuk membangun Penyengat Indra Sakti. Bukankah ini modal sejarah yang perlu diaktualkan? Yang jelas, berkunjung ke Pulau Penyengat, kita benar-benar akan tersengat kebesaran masa lalu sebuah bandar Melayu.

RAUDAL TANJUNG BANUA, PENIKMAT PERJALANAN, TINGGAL DI YOGYAKARTA

Dari Koran Tempo, Minggu, 27 April 2008
Gambar dari sini.

indonesiatravelling.blogspot.com

Selamat Datang, Pejalan

Blog ini adalah situs perjalanan. DI dalamnya terdapat catatan-catatan perjalanan. Setiap artikel dinukil dari pelbagai media yang terbit di Indonesia Penukilan dilakukan tanpa izin dengan asumsi bahwa kegiatan di blog ini adalah kegiatan untuk kepentingan publik.

Selamat menikmati.

Blogger Templates by Blog Forum